Senin, 13 Maret 2017

Tugas Manajemen Risiko 3



MANAJEMEN RISIKO
TUGAS 3
ANALISIS KASUS KREDIT MACET PADA PT DHIVA INTER SARANA

Anggota Kelompok :
1. Dian Yunita Sari        20140730012
2. Fitriyani Setiawani    20140730021
3. Nurul Khanif             20140730038
4. Nurani Afifah R        20140730042

EKONOMI & PERBANKAN ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

 
            A.    KASUS
PT Dhiva Inter Sarana (DIS) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan pipa untuk sektor minyak dan gas. Perusahaan ini dimiliki Richard Setiawan, yang sekaligus menjabat sebagai direktur utama perusahaan tersebut. Mayoritas produk yang dijual PT Dhiva diimpor dari China, antara lain perusahaan Henyang Steel Tube, Sino Steel, Tianjin Anshengda, Federal Hardware Engineering, Soconord, dan Heibei Yaosheng. Sementara konsumen PT Dhiva adalah perusahaan produsen migas, seperti PT Pertamina (Persero), Chevron Pacific Indonesia, VICO, Petro China dan Odira Energy Karang Agung. Kedekatan PT Dhiva dengan sejumlah perusahaan migas tercermin pada Laporan Tahunan Indonesian Geothermal Golf Community (IGGC) periode 2012-2013.
Pada awal Januari 2015 media digemparkan dengan berita mengenai Manajemen Bank Internasional Tbk yang menggugat pailit PT Dhiva Inter Sarana pada akhir Desember 2014, Hal ini dikarenakan terhitung per tanggal 5 Juni 2014 PT Dhiva berutang kepada BII-Maybank dengan total utang senilai US$ 67,669 juta atau setara Rp 812,03 miliar, dengan asumsi Rp 12.000,00 per dolar AS, yang beberapa bulan macet atau tidak membayar angsuran. Utang tersebut jatuh tempo per Desember 2014. Adapun jumlah utang ini terdiri dari utang pokok senilai US$ 53,587 juta, bunga US$ 2,667 juta, dan denda US$ 11,415 juta. Total utang dari BII itu sendiri didapat dari beberapa skema, di antaranya fasilitas pinjaman rekening koran senilai Rp 2,7 miliar, fasilitas demand loan US$ 44 juta, dan L/C Line 1 US$ 8,7 juta yang jatuh tempo 7 Mei 2014, serta fasilitas L/C Line 2 sebesar US$ 6 juta yang jatuh tempo pada 12 Juni 2014.
Pihak BII telah beberapa kali mengirimkan surat dan melakukan pertemuan dengan pihak PT Dhiva untuk meminta pelunasan kewajiban. Namun demikian, Dhiva Inter tidak kunjung memenuhi kewajibannya membayar atas fasilitas kredit yang diterimanya. BII akhirnya memutuskan memberi surat peringatan kepada termohon sebanyak dua kali pada 24 Oktober dan 28 November 2014 dengan ancaman akan melakukan tindakan hukum bila tidak membayar. PT Dhiva pun tetap enggan membayar, hingga ujungnya pihak BII menempuh jalur hukum terhadap masalah ini. Dan pada Rabu pagi, tanggal 7 Januari 2015, perkara ini disidangkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam surat panggilan pengadilan tanggal 31 Desember 2014, tertera bahwa perkara ini adalah permohonan kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terkait dengan masalah kredit macet oleh PT Dhiva. Di mana dalam hal ini PT Bank Internasional Indonesia Tbk bertindak sebagai pemohon, sedangkan PT Dhiva dan pemiliknya, Richard Setiawan selaku personel guarantee atau penjamin, sebagai termohon.
Pada dasarnya kasus kredit macet PT Dhiva ini mulai menyeruak setelah pemiliknya berinvestasi di luar bisnis inti perusahaan. Dan pada Desember 2013, PT Dhiva meminta agar pinjaman mereka direstrukturisasi. Akan tetapi, dari laporan audit internal BII-Maybank sejak Agustus 2012 justru mendapati adanya indikasi sejumlah invoice dari pihak pemasok yang ternyata fiktif. Adapun dalam laporan audit internal BII-Maybank tersebut tertera kalimat sebagai berikut.
"BII Internal Audit Team indicated that some of the invoices from the suppliers are fictitious. Further investigation is still being conducted (Tim Audit Internal BII mendapati indikasi bahwa sejumlah invoice dari pihak pemasok ternyata fiktif. Investigasi lebih lanjut sedang dilangsungkan),"
Dalam laporan itu pula mencantumkan jumlah kredit PT Dhiva per tanggal 5 Juni 2014, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, adalah Rp 649,29 miliar (menggunakan kurs pada saat itu).
Terlepas dari itu semua, PT Dhiva ternyata tidak hanya memiliki utang kepada BII saja, namun memiliki kreditur atau utang-utang kepada pihak lainnya. PT Dhiva juga memiliki utang kepada Bank Permata senilai Rp 304,23 miliar. Dhiva juga diduga memiliki utang yang berpotensi gagal bayar ke Bank DBS Indonesia sebesar Rp 197,79 miliar, Bank Central Asia Tbk senilai Rp 850 juta, PT Orix Indonesia Finance senilai Rp 807,21 juta, Bank CIMB Niaga Rp 14,23 miliar, dan kepada BRI senilai Rp 33 miliar.
Kembali pada BII. Dengan adanya kasus kredit macet ini, pihak BII mengalami penurunan pada tahun berjalan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang Januari hingga September 2014 BII hanya membukukan laba Rp 340 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp 1,09 triliun. Menurut Direktur Pengawas Perbankan 2 OJK, Riyanti A.Y. Sali, hal ini disebabkan terjadinya penurunan laba tahun berjalan yang cukup besar. Laba tahun berjalan turun karena pembentukan cadangan penghapusan kredit macet.
Dalam catatan laporan keuangan BII-Maybank akhir tahun 2013, disebutkan terdapat kenaikan kredit yang masuk dalam kategori kredit bermasalah (non-performing loan atau NPL), senilai Rp 675 miliar. Angka ini tercantum pada kategori utang dalam dolar AS di sektor perdagangan, restoran dan hotel. Namun pada laporan keuangan per akhir September 2014, kredit bermasalah di pos tersebut tersisa Rp 7 miliar. Sementara itu, nilai write off atau kredit yang dihapus bukukan dari neraca bertambah menjadi Rp 1 triliun. Kredit bermasalah BII ini mulai melonjak per akhir tahun 2013 menjadi Rp 2 triliun, dibandingkan pada akhir tahun sebelumnya yang berada di level Rp 1,27 triliun. Dan setahun kemudian, pada posisi akhir September 2014, angkanya membengkak lagi menjadi Rp 2,43 triliun.
Dilihat dari besarannya, nilai kredit bermasalah PT Dhiva tersebut memang cukup signifikan dibandingkan dengan total kredit bermasalah BII-Maybank per akhir tahun 2013. Kredit macet PT Dhiva ini menyumbang kontribusi mencapai 32%. Atas kredit bermasalah di tahun 2013 ini, pada laporan laba rugi Januari sampai dengan Desember 2013 telah disisihkan provisi senilai Rp 787,55 miliar. Dan pada kurun waktu Januari sampai September 2014, juga telah disisihkan provisi sebesar Rp 1,46 triliuun

        B.     TEORI
Bank tentu berkeinginan agar kredit yang diberikannya tidak menjadi kredit yang bermasalah (macet) di kemudian hari.Oleh karena itu, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian terhadap prinsip 5C. Adapun prinsip 5C yang dilakukan atau dinilai oleh pihak bank yang bersangkutan yaitu :
1)      Character (Penilaian Watak)
Penilaian watak/kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui iktikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjaman, sehingga tidak menyulitkan bank dikemudian hari. Untuk mendukung analisi watak ini, yang perlu diteliti antara lain mengenai :
a.       Reputasi bisnis atau reputasi perusahaan
b.      Riwayat perusahaan
c.       Catatan kriminal
d.      Riwayat pernikahan
e.       Gaya hidup
f.       Tingkat kooperatif selama proses analisis di lakukan
g.      Akte pendirian perusahaan
h.      Informasi rekan bisnis
2)      Capacity (Penilaian Kemampuan)
Analisis ini bertujuan untuk mengukur tingkat kemampuan membayar dari nasabah. Hal yang perlu diperhatikan adalah :
1) Pendekatan historis, yaitu menilai past performance, apakah menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu.
2) Pendekatan finansial, yaitu menilai latar belakang pendidikan para pengurus. Hal ini sangat penting untuk perusahaan-perusahaan yang menghendaki keahlian teknologi tinggi atau perusahaan yang memerlukan profesionalisme tinggi seperti rumah sakit, biro konsultan, dan lain-lain.
3) Pendekatan yuridis, yaitu secara yuridis apakah calon nasabah mempunyai kapasitas untuk mewakili badan usaha yang diwakilinya untuk mengadakan perjanjian kredit dengan bank.
4) Pendekatan manajerial, yaitu menilai sejauh mana kemampuan dan keterampilan nasabah melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam memimpin perusahaan.
5) Pendekatan teknis, yaitu untuk menilai sejauh mana kemampuan calon nasabah mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, sumber bahan baku, peralatan-peralatan/mesin-mesin, administrasi, dan keuangan, industrial relation sampai pada kemampuan merebut pasar.

3)      Capital (Penilaian Terhadap Modal)
Yaitu permodalan yang dimiliki oleh calon nasabah. Jadi permodalan yang di maksud disini tidak semata mata 100% berasal dari pihak Bank, melainkan kredit dari Bank hanya berupa penambahan modal bagi calon nasabah. Capital ini dapat dilihat dari rekening tabungan calon nasabah maupun investasi yang telah di lakukan.

4)      Collateral (Penilaian terhadap Agunan)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis agunan kredit adalah:
a. Segi ekonomis, yaitu nilai ekonomis dari barang-barang yang akan diagunkan.
b. Segi yuridis, yaitu apakah jaminan tersebut memenuhi syarat-syarat yuridis untuk dipakai sebagai jaminan. Oleh karena itu, nilai jaminan tersebut sebaiknya harus mampu menutup resiko-resiko yang mungkin timbul di kemudian hari atas kredit yang diberikan.

5)      Condition Of Economy (Penilaian terhadap prospek usaha nasabah).
Pada Bank Internasional Indonesia KCP Jakarta yaitu Bisa dilihat juga dari prospek usaha dari calon nasabah, apakah usaha yang digeluti oleh calon nasabah  memiliki prospek/masa depan yang baik. Baik/tidaknya prospek usaha di kemudian hari tergantung dari beberapa faktor seperti faktor politik, ekonomi dan social budaya.
     C.    Analisis Kasus
              
Berdasarkan kasus tersebut hal ini masuk kedalam analisis Capacity dan Condition Of Economic Nasabah. Untuk menganalisis hal tersebut, maka dapat diambil solusi atau novasi sebagai berikut :
        1.      Permasalahan, Capacity
            Capacity yaitu kemampuan nasabah dalam membayar hutang. Permasalahan mengenai capacity dapat dianalisis melalui beberapa pendekatan yaitu pendekatan historis, financial, yuridis, manajerial dan pendekatan teknis. Karena pihak mitra (pemasok) dari Cina tidak dapat mengirim pesanan pipa pada waktu yang dijanjikan, sehingga PT Dhiva mengalami penurunan laba dalam penjualannya. Oleh karena itu, PT Dhiva terancam pailit dan tidak dapat mengembalikan pinjaman pokok beserta bunganya kepada pihak BII.
       2.      Condition Of Economic
           Permasalahan mengenai Condition Of Economi Nasabah erat kaitannya dengan faktor politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dalam hal ini kasus kredit macet karena kerugian yang dialami oleh PT Dhiva yang melalukan import pipa dari mitra usaha di Cina, kemudian dialokasikan di Indonesia bukanlah kesalahan dari pihak PT Dhiva, melainkan faktor ekonomi yang selalu berada di posisi naik atau turun. Begitu juga yang terjadi pada permintaan maupun penawaran dari harga jual dan juga barang yang diminta oleh konsumen. Sehingga apabila harga barang tersebut naik maka permintaan akan barang tersebut menurun, begitupun sebaliknya.

       
          D.    KESIMPULAN

     
1.    Penerapan prinsip 5C adalah hal yang perlu di perhatikan pada setiap bank. Dari Tiap point prinsip tersebut memiliki standar ketentuan yang sesuai untuk menganalisis kredit atau pembiayaan. Karena apabila terdapat kelalaian dalam satu point saja, maka akan berpengaruh terhadap kelancaran pengembalian kredit/pembiayaan dari debitur.

2.   Kebijakan prosedur risiko kredit yang ditetapkan oleh bank merupakan suatu bentuk pencegahan terhadap kemungkinan adanya kerugian atas gagal bayar dari debitur, sehingga kebijakan prosedur tersebut harus diimplementasikan semaksimal mungkin.

3.       Serta penerapan BI Checking yang merupakan istilah lain dari informasi debitur individual (IDI) Histori yang dihasilkan oleh sistem Informasi debitur (SID) sehingga di lakukan BI Checking online. Disebut BI Checking karena pihak yang berkepentingan dengan semua data tersebut adalah debitur. Ada nya hal ini telah diatur dalam “peraturan BI No. 9/14/PBI/2007 pasal 1 ayat 11 tentang Sistem Informasi Debitur”.