MAKALAH PERKAWINAN I
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata
Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Homaidi Hamid S.Ag., M.Ag.
Di susun Oleh :
Fitriani Setiawani 20140730021
Nurfina Rofi’ah 20140730029
Nurul Khanif 20140730038
EKONOMI & PERBANKAN ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan dalam pandangan islam adalah
sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti sunnah
Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan
mengikuti ketentuan ketentuan yang harus di indahkan. Dalam undang-undang RI
tahun 1974 tentang perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana
difirmankan Allah Swt dalam surat Ar-rum ayat 21 “ dan di antara tanda-tanda
kekuasannya ialah dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikannya di
antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian
itu menjadi tanda tanda kebesaran bagi orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah
adalah anugrah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan
pernikahan.
Pernikahan merupakan sunnah nabi Muhammad Saw.
Sunnah disini di artikan mencontoh tindak laku Nabi Muhammad Saw. Perkawinan di
isyaratkan supaya manusia mempnyai keturunan dan keluarga yang sah menuju
kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan
Ridha Allah SWT, dan hal ini telah di isyaratkan dari sejak dahulu dan sudah
banyak di jelaskan di dalam Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian pernikahan ?
2. Apa Dalil pernikahan ?
3. Apa Hukum menikah ?
4. Rukun dan syarat pernikahan ?
5. Siapa Wali nikah ?
6. Apa saja Ketentuan pernikahan menurut hukum positif (yang berlaku)?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian pernikahan
2. Untuk mengetahui dalil pernikahan
3. Untuk mengetahui Hukum menikah
4. Untuk mengetahui rukun dan syarat pernikahan
5. Untuk mengetahui siapa saja wali nikah
6. Untuk mengetahui ketentuan pernikahan menurut hukum positif (yang berlaku)
BAB II
ISI
A.
Pengertian Nikah
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan
seksual tetapi menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah
akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri
antara seorang pria dengan seorang wanita. (hanafi)
Menurut imam syafi’i, pengertian nikah adalah
suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seks antara pria dengan wanita
sedangkan menurut arti majazi (mathaporic) nikah itu artinya hubungan
seksual.
Menurut undang undang No 1 Tahun 1974 (pasal
1), perkawinn itu ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Pertimbangannya ialah
sebagai negara yang berdasar pancasila dimana sila yang pertamanya ialah
ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai perasaan yang penting.
Membentuk keluarga yang bahagia rapat
hubungannya dengan turunan, yang merupakan pula tujuan perkawinan, pemeliharaan
dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua (lihatlah pasal 1 dan
penjelasan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tersebut merupakan dan sekaligus
dasar hukum perkawinan Nasional).[1]
Sedangkan pasal 2 ayat (2), mengatur bahwa
tiap tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku.
Tentulah orang orang islam melakukan perkawinan menurut hukum agamanya, seperti
juga agama agama lain.[2]
Tentang pencatatat perkawinan khusus untuk orang orang islam diatur dalam
Undang Undang No. 22 tahun 1946 juncto Undang Undang No.32 Tahun 1954.
Pengertian perkawinan menurut kompilasi hukum
islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghalizhan
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan
pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, rahmah.[3]
B. Dalil Pernikahan
Adapun dalil pendapat daud mengatakan, bahwa
perkawinan itu adalah wajib bagi orang yang kuasa dan mampu, ialah bahwa amar
(anjuran) pada ayat dan hadis tersebut adalah amar (suruhan) wajib. Tiap
tiap suruhan Allah dan Rasulnya wajib diikuti dan di ta’ati dan tak oleh di
takwilkan (diputar putar) kepada yang lain, seperti amar sunnat, amar ibadah
(boleh).
Pendeknya penapat daud (ahli zahir) hanya
berpegang kepada yang lahir dan yang termaktub saja, atau dengan perkataan
lain, hanya berpegang kepada yang tersurat saja.
Sedangkan Dalam Al-qur’an dijelaskan dalam surat :
QS. Adz Dzariyaat (51):49].
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbrã©.xs? ÇÍÒÈ
49. dan segala
sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
QS. Al Hujuraat (49):13]
$pkr'¯»t
â¨$¨Z9$#
$¯RÎ)
/ä3»oYø)n=yz
`ÏiB
9x.s
4Ós\Ré&ur
öNä3»oYù=yèy_ur
$\/qãèä©
@ͬ!$t7s%ur
(#þqèùu$yètGÏ9
4 ¨bÎ)
ö/ä3tBtò2r&
yYÏã
«!$#
öNä39s)ø?r&
4 ¨bÎ)
©!$#
îLìÎ=tã
×Î7yz
ÇÊÌÈ
13.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
(HR. Ibnu Majah,
dari Aisyah r.a.)
Rasulullah SAW
bersabda: “Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku
!”.
(HR. Abdurrazak dan baihaqi)
saling menikahlah
kamu, saling membuat keturunanlah kamu, dan perbanyaklah (keturunan).
Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah umat yang lain.
(Muttafaq Alaihi dan Imam Lima)
Dari Abu Hurirah
Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alahi wa Salllam bersabda,’Perempuan
itu dinikahi karena 4 (empat hal), yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan
agamanya, Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia.”
C.
Hukum pernikahan
Sebagai hasil usaha mempelajari al-qur’an dan sunnah
Rasulullah dalam kitab-kitab hadis, para ahli hukum islam telah menyusun suatu
teori yang merupakan penilaian mengenai perbuatan manusia. Jumlahnya
lima, karena itu disebut al-ahkam
al-khamsah. Artinya lima kaidah, lima ukuran untuk menilai perbuatan
manusia dan benda. Nikah adalah suatu perbuatan dan sebagai perbuatan (manusia)
ia juga dapat dinilai menurut ukuran tersebut. Sebagai ajaran, lima kaidah itu
meliputi segala aspek kehidupan yang dalam bahasa sehari-hari kadangkala
disebut hukum yang lima.
Jika
perbuatan nikah ditautkan dengan kaidah
atau hukum yang lima itu, maka kaidah asalnya adalah ja’iz atau mubah atau ibahah, di indonesia
akan menjadi kebolehan. Tetapi karena perubahan illat (motif, alasan)-nya, mungkin kebolehan, (ja’iz, mudah, ibahah), perkawinan dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram. Contoh dalam urain berikut,
mungkin dapat memberi penjelasan.
a. Perbuatan
nikah yang dilakukan oleh orang yang telah cukup umurnya yang hukum atau kaidah
asalnya mubah atau kebolehan itu dapat berubah hukumnya
menjadi anjuran atau sunnah kalau dilakukan oleh seseorang
yang pertumbuhan rohani dan jasmaninya dianggap telah wajar benar untuk hidup
berumah tangga. Telah mampu membiayai atau mengurus rumah tangga. Kalau ia
menikah dalam keadaan demikian, ia akan mendapat pahala dan kalau ia belum mau
berumah tangga, asal mampu menjaga dirinya, ia tidak berdosa.
b. Perbuatan
nikah itu akan berubah hukumnya menjadi wajib
atau fardh kalau seseorang dipandang telah mampu benar mendirikan rumah tangga, sanggup
memenuhi kebutuhan dan mengurus kehidupan keluarganya, telah matang betul
pertumbuhan rohani dan jasmaninya. Dalam keadan seperti ini, ia wajib menikah
dan berumah tangga, sebab kalau ia tidak menikah ia akan cenderung berbuat
dosa, terjerumus, misalnya melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah,
baik ia laki-laki ataupun perempuan.
c. Perbuatan
nikah berubah hukumnya menjadi makruh
atau celaan bila dilakukan oleh
orang-orang yang berusia relatif muda (belum cukup umur), belum mampu menafkahi
dan mengurus rumah tangga. Kalau orang menikah juga dalam usia demikian, ia
akan membawa sengsara bagi hidup dan kehidupan keluarganya. Memang, dalam
keadaan ini ia tidak berdosa jika berumah tangga, tetapi perbuatannya untuk
menikah dpat dikelompokkan ke dalam kategori perbuatan tercela.
d. Hukumnya
berubah menjadi haram kalau dilakukan
oleh seorang laki-laki yang mengawini soerang wanita dengan maksud hendak
menganiaya wanita itu. Hal ini disebutkan misalnya, dalam al-qur’an surat An-Nisa ayat 24-25. Atau menurut perhitungan yang umum dan wajar perkawinan
itu secara langsung atau tidak langsung
akan mendatangkan malapetaka bagi mitranya. jika perkawinan yang
hukumnya dapat dimasukkan ke dalam kategori haram itu dilakukan juga oleh
seseorang, ia akan berdosa, misalnya pernikahan seorang laki-laki dengan wanita
yang masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain, jumlahnya melampaui
batas yang dibolehkan agama, gemar menyakiti perasaannya.[4]
D.
Rukun dan Syarat
Pernikahan
Menurut Abdurrahman al-Jaziri menyebutkan bahwa yang
termasuk rukun adalah al-ijab dan al-qabul dimana tidak akan ada nikah tanpa
keduanya. Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqaha, rukun nikah terdiri
dari al-ijab dan al-qabul, sedangkan yang lain termasuk dalam syarat.
Menurut
Hanafiah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang berhubungan
dengan sighat, berhubungan dengan kedua calon mempelai dan berhubungan dengan
kesaksian. Menurut Syafi’iyyah melihat syarat perkawinan itu ada kalanya
menyangkut sighat, wali, calon suami-istri dan juga syuhud. Menurut Makiyyah,
rukun nikah itu ada lima, wali, mahar, calon suami istri dan sighat.
Menurut
Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dalam masing-masing rukun itu memiliki
syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun
perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari rukun tersebut.
a. Calon
Suami, syarat-syaratnya:
§ Beragama
Islam
§ Laki-laki
§ Jelas
orangnya
§ Dapat
memberi persetujuan
§ Terdapat
halangan perkawinan
b. Calon
Istri, syarat-syaratnya:
§ Beragama,
meskipun Yahudi dan Nasrani
§ Perempuan
§ Jelas
orangnya
§ Dapat
dimintai persetujuan
§ Tidak
terdapat halangan perkawinan
c. Wali
Nikah, syarat-syaratnya:
§ Laki-laki
§ Dewasa
§ Mempunyai
hak perwalian
§ Tidak
dapat halangan perwaliannya
d. Saksi
Nikah, syarat-syaratnya:
§ Minimal
dua orang laki-laki
§ Hadir
dalam ijab qabul
§ Dapat
mengerti maksud akad
§ Islam
dan dewasa
e. Ijab
Qabul, syarat-syaratnya:
§ Adanya
menyatakan perkawinan dari wali
§ Adanya
pernyataan penerimaan dari calon mempelai
§ Memakai
kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut
§ Antara
ijab dan qabul bersambungan
§ Antara
ijab dan qabul jelas maksudnya
§ Orang
yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah
§ Majlis
ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai
wanita dan dua orang saksi.
Mahar Sebagai Syarat Sah Perkawinan
Secara Istilah, mahar diartikan
sebagai “harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad atau
dukhul”. Syari’at mahar di dalam islam memiliki hikmah yang cukup dalam
seperti:
1) Untuk
menghalalkan hubungan antara pria dan wanita, Karena keduanya saling
membutuhkan.
2) Untuk
memberi penghargaan kepada wanita, dalam arti bukan sebagai alat tukar yang
mengesankan pembelian.
3) Untuk
menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah terikat engan
perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan istrinya
sesukanya.
4) Untuk
kenangan dan pengikat kasih sayang antara suami istri.
Perspektif UU No 1/1974
Berbeda dengan perspektif fiqih, UU
No 1/1974 tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya UUP hanya memuat
hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Didalam Bab II pasal 6
ditemukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1) Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2) Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum setahun harus mendapatkan izin
kedua orang
3) Dalam
hal salah seorang dari kedua orang tuan telah meninggal dunia atau dalaam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayar (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam
hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam
hal ini perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini, atau salah seorang diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hokum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan tersebut dapat memberikan izin setelah
terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4)
pasal ini
6) Ketentuan
tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hokum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain[5]
Prespektif KHI
Berbedaan dengan UU No 1/1974, KHI
ketika membahas rukun perkawinan tampaknya mengikuti sistematika fikih yang
mengaitkan rukun dan syarat. Ini dimuat dalam pasal 14. Kendatipun KHI
menjelaskan lima rukun perkawinan sebagaimana fikih, ternyata dalam uraian
persyaratannya. KHI mengikuti UUP yang melihat syarat hanya berkenaan dengan
persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.
Yang menarik, pada pasal-pasal
berikutnya juga dibahas tentang wali (pasal 19), saksi (pasal 24), akad nikah
(pasal 27), namun sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari
pembahasan rukun. Sampai disini, KHI tidak mengikuti skema fikih, juga tidak
mengikuti UU No 1/1974 yang hanya membahas persyaratan perkawinan menyangkut
kedua calon mempelai.
Dalam pembahasan saksi nikah, KHI
juga masih senada dengan apa yang berkembang dalam fikih. Pada bagian keempat
pasal 24 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa saksi nikah merupakan rukun nikah dan
setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
E.
Wali Nikah
Yaitu
seseorang yang menikahkan mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan atau
mengizinkan pernikahannya. Wali nikah ada 2:
1. Wali
nasab, yaitu orang yang memiliki hubungan/pertalian darah dengan sang mempelai
perempuan yang akan dinikahkan.
2. Wali
hakim, yaitu kepala negara yang beraga islam.
Menyangkut
dengan wali hakim dinyatakan pada pasal 23 yang berbunyi:
1. Wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib
atau ‘adlal atau enggan.
2.
Dalam hal wali
‘adlal atau enggan maka wali hakim baru dapt bertindak sebagai wali nikah
setalah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.[6]
F.
Ketentuan-ketentuan pernikahan menurut hukum positif
(yang berlaku)
Anjuran Rasulullah SAW untuk menikah mengandung berbagai
manfaat sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, diantaranya :
1.
Dapat menundukkan pandangan
2.
Akan terjaga kehormatan
3.
Terpelihara kemaluan dari beragam maksiat
4.
Akan ditolong dan dimudahkan oleh Allah SWT
5.
Dapat menjaga shahwat yang merupakan salah satu sebab di
jamin nya masuk surga
6.
Mendatangkan ketenangan di dalam hidup
7.
Terwujudnya keluarga yang sakinah mawadah warahmah,
sebagaimana firman allah dalam Qs. Ar-rum : 21
ô`ÏBur
ÿ¾ÏmÏG»t#uä
÷br&
t,n=y{
/ä3s9
ô`ÏiB
öNä3Å¡àÿRr&
%[`ºurør&
(#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøs9Î)
@yèy_ur
Nà6uZ÷t/
Zo¨uq¨B
ºpyJômuur
4 ¨bÎ)
Îû
y7Ï9ºs
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9
tbrã©3xÿtGt
ÇËÊÈ
21. dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
8.
Mendapatkan keturunan yang sholeh dan sholehah
9.
Menikah dapat menjadi sebab semakin banyaknya jumlah umat
nabi muhammad[7]
BAB III
KESIMPULAN
Menurut undang undang No 1 Tahun 1974 (pasal
1), perkawinn itu ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Pertimbangannya ialah
sebagai negara yang berdasar pancasila dimana sila yang pertamanya ialah
ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai perasaan yang penting.
Menurut
Hanafiah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang berhubungan
dengan sighat, berhubungan dengan kedua calon mempelai dan berhubungan dengan
kesaksian. Menurut Syafi’iyyah melihat syarat perkawinan itu ada kalanya
menyangkut sighat, wali, calon suami-istri dan juga syuhud. Menurut Makiyyah,
rukun nikah itu ada lima, wali, mahar, calon suami istri dan sighat.
Pernikahan dilakukan karena merupakan suatu
kewajiban menjalankan kewajiban dan di lakukan ketika sudah siap lahir batin.
Menikahlah dan jangan takut akan miskin. Dalam Qs Annur :32
32. dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
[1035]
Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak
bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Bibliography
Dr. H. Amiur Nuruddin, M. (2004). Hukum Perdata
Islam di Indonesia. Jakarta: PRENADA MEDIA.
Mohd. Idris Ramulyo, S. M. (2002). Hukum
Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Mudarresi, M. T. (n.d.). Fikih Khusus Dewasa.
AL- HUDA.
Prof. Abdur Rahman I. Doi, P. (1992). Perkawinan
Dalam Syariat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
S.H., P. H. (1997). Hukum Islam dan Peradilan
Agama. Jakarta: PT. Rajagrafindo persada.
Yunus, P. D. (1956). Hukum Perkawinan Dalam
Islam. Jakarta: PT. HIDAKARYA AGUNG.