Minggu, 06 November 2016



MAKALAH PERKAWINAN I
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Homaidi Hamid S.Ag., M.Ag.

Di susun Oleh :
Fitriani Setiawani        20140730021
Nurfina Rofi’ah          20140730029
Nurul Khanif               20140730038


EKONOMI & PERBANKAN ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pernikahan dalam pandangan islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan ketentuan yang harus di indahkan. Dalam undang-undang RI tahun 1974 tentang perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah Swt dalam surat Ar-rum ayat 21 “ dan di antara tanda-tanda kekuasannya ialah dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikannya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda tanda kebesaran bagi orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugrah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan.
Pernikahan merupakan sunnah nabi Muhammad Saw. Sunnah disini di artikan mencontoh tindak laku Nabi Muhammad Saw. Perkawinan di isyaratkan supaya manusia mempnyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan Ridha Allah SWT, dan hal ini telah di isyaratkan dari sejak dahulu dan sudah banyak di jelaskan di dalam Al-qur’an.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian pernikahan ?
2.      Apa Dalil pernikahan ?
3.      Apa Hukum menikah ?
4.      Rukun dan syarat pernikahan ?
5.      Siapa Wali nikah ?
6.      Apa saja Ketentuan pernikahan menurut hukum positif (yang berlaku)?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa pengertian pernikahan
2.      Untuk mengetahui dalil pernikahan
3.      Untuk mengetahui Hukum menikah
4.      Untuk mengetahui rukun dan syarat pernikahan
5.      Untuk mengetahui siapa saja wali nikah
6.      Untuk mengetahui ketentuan pernikahan menurut hukum positif (yang berlaku)
















BAB II
ISI
A.    Pengertian Nikah
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. (hanafi)
Menurut imam syafi’i, pengertian nikah adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seks antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi (mathaporic) nikah itu artinya hubungan seksual.
Menurut undang undang No 1 Tahun 1974 (pasal 1), perkawinn itu ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Pertimbangannya ialah sebagai negara yang berdasar pancasila dimana sila yang pertamanya ialah ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai perasaan yang penting.
Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan turunan, yang merupakan pula tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua (lihatlah pasal 1 dan penjelasan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tersebut merupakan dan sekaligus dasar hukum perkawinan Nasional).[1]
Sedangkan pasal 2 ayat (2), mengatur bahwa tiap tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku. Tentulah orang orang islam melakukan perkawinan menurut hukum agamanya, seperti juga agama agama lain.[2] Tentang pencatatat perkawinan khusus untuk orang orang islam diatur dalam Undang Undang No. 22 tahun 1946 juncto Undang Undang No.32 Tahun 1954.
Pengertian perkawinan menurut kompilasi hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, rahmah.[3]
B.     Dalil Pernikahan
Adapun dalil pendapat daud mengatakan, bahwa perkawinan itu adalah wajib bagi orang yang kuasa dan mampu, ialah bahwa amar (anjuran) pada ayat  dan hadis  tersebut adalah amar (suruhan) wajib. Tiap tiap suruhan Allah dan Rasulnya wajib diikuti dan di ta’ati dan tak oleh di takwilkan (diputar putar) kepada yang lain, seperti amar sunnat, amar ibadah (boleh).
Pendeknya penapat daud (ahli zahir) hanya berpegang kepada yang lahir dan yang termaktub saja, atau dengan perkataan lain, hanya berpegang kepada yang tersurat saja.
Sedangkan Dalam Al-qur’an dijelaskan  dalam surat  :
QS. Adz Dzariyaat (51):49].
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbr㍩.xs? ÇÍÒÈ  
49. dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
QS. Al Hujuraat (49):13]
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.)
Rasulullah SAW bersabda: “Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !”.

 (HR. Abdurrazak dan baihaqi)
saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah umat yang lain.

(Muttafaq Alaihi dan Imam Lima)
Dari Abu Hurirah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alahi wa Salllam bersabda,’Perempuan itu dinikahi karena 4 (empat hal), yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya, Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia.” 

C.     Hukum pernikahan

Sebagai hasil usaha mempelajari al-qur’an dan sunnah Rasulullah dalam kitab-kitab hadis, para ahli hukum islam telah menyusun suatu teori yang merupakan penilaian mengenai perbuatan manusia. Jumlahnya lima, karena itu disebut al-ahkam al-khamsah. Artinya lima kaidah, lima ukuran untuk menilai perbuatan manusia dan benda. Nikah adalah suatu perbuatan dan sebagai perbuatan (manusia) ia juga dapat dinilai menurut ukuran tersebut. Sebagai ajaran, lima kaidah itu meliputi segala aspek kehidupan yang dalam bahasa sehari-hari kadangkala disebut hukum yang lima.
Jika perbuatan nikah ditautkan dengan kaidah  atau hukum yang lima itu, maka kaidah asalnya adalah ja’iz atau mubah atau ibahah, di indonesia akan menjadi kebolehan. Tetapi karena perubahan illat (motif, alasan)-nya, mungkin kebolehan, (ja’iz, mudah, ibahah), perkawinan dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram. Contoh dalam urain berikut, mungkin dapat memberi penjelasan.
a.       Perbuatan nikah yang dilakukan oleh orang yang telah cukup umurnya yang hukum atau kaidah asalnya mubah atau kebolehan itu dapat berubah hukumnya menjadi anjuran atau sunnah kalau dilakukan oleh seseorang yang pertumbuhan rohani dan jasmaninya dianggap telah wajar benar untuk hidup berumah tangga. Telah mampu membiayai atau mengurus rumah tangga. Kalau ia menikah dalam keadaan demikian, ia akan mendapat pahala dan kalau ia belum mau berumah tangga, asal mampu menjaga dirinya, ia tidak berdosa.
b.      Perbuatan nikah itu akan berubah hukumnya menjadi wajib atau fardh  kalau seseorang dipandang telah mampu  benar mendirikan rumah tangga, sanggup memenuhi kebutuhan dan mengurus kehidupan keluarganya, telah matang betul pertumbuhan rohani dan jasmaninya. Dalam keadan seperti ini, ia wajib menikah dan berumah tangga, sebab kalau ia tidak menikah ia akan cenderung berbuat dosa, terjerumus, misalnya melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah, baik ia laki-laki ataupun perempuan.
c.       Perbuatan nikah berubah hukumnya menjadi makruh atau celaan bila dilakukan oleh orang-orang yang berusia relatif muda (belum cukup umur), belum mampu menafkahi dan mengurus rumah tangga. Kalau orang menikah juga dalam usia demikian, ia akan membawa sengsara bagi hidup dan kehidupan keluarganya. Memang, dalam keadaan ini ia tidak berdosa jika berumah tangga, tetapi perbuatannya untuk menikah dpat dikelompokkan ke dalam kategori perbuatan tercela.
d.      Hukumnya berubah menjadi haram kalau dilakukan oleh seorang laki-laki yang mengawini soerang wanita dengan maksud hendak menganiaya wanita itu. Hal ini disebutkan misalnya, dalam al-qur’an surat An-Nisa ayat 24-25. Atau menurut perhitungan yang umum dan wajar perkawinan itu secara langsung atau tidak langsung  akan mendatangkan malapetaka bagi mitranya. jika perkawinan yang hukumnya dapat dimasukkan ke dalam kategori haram itu dilakukan juga oleh seseorang, ia akan berdosa, misalnya pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain, jumlahnya melampaui batas yang dibolehkan agama, gemar menyakiti perasaannya.[4]



D.    Rukun dan Syarat Pernikahan

Menurut Abdurrahman al-Jaziri menyebutkan bahwa yang termasuk rukun adalah al-ijab dan al-qabul dimana tidak akan ada nikah tanpa keduanya. Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqaha, rukun nikah terdiri dari al-ijab dan al-qabul, sedangkan yang lain termasuk dalam syarat.
Menurut Hanafiah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang berhubungan dengan sighat, berhubungan dengan kedua calon mempelai dan berhubungan dengan kesaksian. Menurut Syafi’iyyah melihat syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut sighat, wali, calon suami-istri dan juga syuhud. Menurut Makiyyah, rukun nikah itu ada lima, wali, mahar, calon suami istri dan sighat.
Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dalam masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari rukun tersebut.
a.       Calon Suami, syarat-syaratnya:
§  Beragama Islam
§  Laki-laki
§  Jelas orangnya
§  Dapat memberi persetujuan
§  Terdapat halangan perkawinan
b.      Calon Istri, syarat-syaratnya:
§  Beragama, meskipun Yahudi dan Nasrani
§  Perempuan
§  Jelas orangnya
§  Dapat dimintai persetujuan
§  Tidak terdapat halangan perkawinan
c.       Wali Nikah, syarat-syaratnya:
§  Laki-laki
§  Dewasa
§  Mempunyai hak perwalian
§  Tidak dapat halangan perwaliannya
d.      Saksi Nikah, syarat-syaratnya:
§  Minimal dua orang laki-laki
§  Hadir dalam ijab qabul
§  Dapat mengerti maksud akad
§  Islam dan dewasa
e.       Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
§  Adanya menyatakan perkawinan dari wali
§  Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
§  Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut
§  Antara ijab dan qabul bersambungan
§  Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
§  Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah
§  Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai wanita dan dua orang saksi.

Mahar Sebagai Syarat Sah Perkawinan
Secara Istilah, mahar diartikan sebagai “harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad atau dukhul”. Syari’at mahar di dalam islam memiliki hikmah yang cukup dalam seperti:
1)      Untuk menghalalkan hubungan antara pria dan wanita, Karena keduanya saling membutuhkan.
2)      Untuk memberi penghargaan kepada wanita, dalam arti bukan sebagai alat tukar yang mengesankan pembelian.
3)      Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah terikat engan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan istrinya sesukanya.
4)      Untuk kenangan dan pengikat kasih sayang antara suami istri.

Perspektif UU No 1/1974
Berbeda dengan perspektif fiqih, UU No 1/1974 tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya UUP hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Didalam Bab II pasal 6 ditemukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1)      Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2)      Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum setahun harus mendapatkan izin kedua orang
3)      Dalam hal salah seorang dari kedua orang tuan telah meninggal dunia atau dalaam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayar (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4)      Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5)      Dalam hal ini perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hokum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini
6)      Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain[5]

Prespektif KHI
Berbedaan dengan UU No 1/1974, KHI ketika membahas rukun perkawinan tampaknya mengikuti sistematika fikih yang mengaitkan rukun dan syarat. Ini dimuat dalam pasal 14. Kendatipun KHI menjelaskan lima rukun perkawinan sebagaimana fikih, ternyata dalam uraian persyaratannya. KHI mengikuti UUP yang melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.
Yang menarik, pada pasal-pasal berikutnya juga dibahas tentang wali (pasal 19), saksi (pasal 24), akad nikah (pasal 27), namun sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan rukun. Sampai disini, KHI tidak mengikuti skema fikih, juga tidak mengikuti UU No 1/1974 yang hanya membahas persyaratan perkawinan menyangkut kedua calon mempelai.
Dalam pembahasan saksi nikah, KHI juga masih senada dengan apa yang berkembang dalam fikih. Pada bagian keempat pasal 24 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa saksi nikah merupakan rukun nikah dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
E.     Wali Nikah
Yaitu seseorang yang menikahkan mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya. Wali nikah ada 2:
1.      Wali nasab, yaitu orang yang memiliki hubungan/pertalian darah dengan sang mempelai perempuan yang akan dinikahkan.
2.      Wali hakim, yaitu kepala negara yang beraga islam.

Menyangkut dengan wali hakim dinyatakan pada pasal 23 yang berbunyi:
1.    Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau ‘adlal atau enggan.
2.         Dalam hal wali ‘adlal atau enggan maka wali hakim baru dapt bertindak sebagai wali nikah setalah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.[6]
F.      Ketentuan-ketentuan pernikahan menurut hukum positif (yang berlaku)
Anjuran Rasulullah SAW untuk menikah mengandung berbagai manfaat sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, diantaranya :
1.      Dapat menundukkan pandangan
2.      Akan terjaga kehormatan
3.      Terpelihara kemaluan dari beragam maksiat
4.      Akan ditolong dan dimudahkan oleh Allah SWT
5.      Dapat menjaga shahwat yang merupakan salah satu sebab di jamin nya masuk surga
6.      Mendatangkan ketenangan di dalam hidup
7.      Terwujudnya keluarga yang sakinah mawadah warahmah, sebagaimana firman allah dalam Qs. Ar-rum : 21
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  
21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.


8.      Mendapatkan keturunan yang sholeh dan sholehah
9.      Menikah dapat menjadi sebab semakin banyaknya jumlah umat nabi muhammad[7]
BAB III
KESIMPULAN
Menurut undang undang No 1 Tahun 1974 (pasal 1), perkawinn itu ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Pertimbangannya ialah sebagai negara yang berdasar pancasila dimana sila yang pertamanya ialah ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai perasaan yang penting.
Menurut Hanafiah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang berhubungan dengan sighat, berhubungan dengan kedua calon mempelai dan berhubungan dengan kesaksian. Menurut Syafi’iyyah melihat syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut sighat, wali, calon suami-istri dan juga syuhud. Menurut Makiyyah, rukun nikah itu ada lima, wali, mahar, calon suami istri dan sighat.
Pernikahan dilakukan karena merupakan suatu kewajiban menjalankan kewajiban dan di lakukan ketika sudah siap lahir batin. Menikahlah dan jangan takut akan miskin. Dalam Qs Annur :32
32. dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
[1035] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.


Bibliography

Dr. H. Amiur Nuruddin, M. (2004). Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PRENADA MEDIA.
Mohd. Idris Ramulyo, S. M. (2002). Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Mudarresi, M. T. (n.d.). Fikih Khusus Dewasa. AL- HUDA.
Prof. Abdur Rahman I. Doi, P. (1992). Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
S.H., P. H. (1997). Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT. Rajagrafindo persada.
Yunus, P. D. (1956). Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: PT. HIDAKARYA AGUNG.

















[1] Mohd. Idris Ramulyo, S. M. (2002). Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[2] Mohd. Idris Ramulyo, S. M. (2002). Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.


[4] Yunus, P. D. (1956). Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: PT. HIDAKARYA AGUNG.


[5] Dr. H. Amiur Nuruddin, M. (2004). Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PRENADA MEDIA.

[6] Dr. H. Amiur Nuruddin, M. (2004). Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PRENADA MEDIA.