MANAJEMEN RISIKO
TUGAS 3
ANALISIS KASUS KREDIT MACET PADA PT DHIVA INTER SARANA
Anggota Kelompok :
1. Dian Yunita Sari 20140730012
2. Fitriyani Setiawani 20140730021
3. Nurul Khanif 20140730038
4. Nurani Afifah R 20140730042
EKONOMI & PERBANKAN ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
A.
KASUS
PT Dhiva Inter
Sarana (DIS) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan pipa
untuk sektor minyak dan gas. Perusahaan ini dimiliki Richard Setiawan, yang
sekaligus menjabat sebagai direktur utama perusahaan tersebut. Mayoritas produk
yang dijual PT Dhiva diimpor dari China, antara
lain perusahaan Henyang Steel Tube, Sino Steel, Tianjin Anshengda, Federal
Hardware Engineering, Soconord, dan Heibei Yaosheng. Sementara konsumen PT
Dhiva adalah perusahaan produsen migas, seperti PT Pertamina (Persero), Chevron
Pacific Indonesia, VICO, Petro China dan Odira Energy Karang Agung. Kedekatan
PT Dhiva dengan sejumlah perusahaan migas tercermin pada Laporan Tahunan
Indonesian Geothermal Golf Community (IGGC) periode 2012-2013.
Pada
awal Januari 2015 media digemparkan dengan berita mengenai Manajemen Bank
Internasional Tbk yang menggugat pailit PT Dhiva Inter Sarana pada akhir
Desember 2014, Hal ini dikarenakan terhitung per tanggal 5 Juni 2014 PT Dhiva
berutang kepada BII-Maybank dengan total utang senilai US$ 67,669 juta atau setara Rp 812,03 miliar, dengan asumsi Rp 12.000,00 per dolar AS, yang beberapa
bulan macet atau tidak membayar angsuran. Utang tersebut jatuh tempo per
Desember 2014. Adapun jumlah utang ini terdiri dari utang pokok senilai
US$ 53,587 juta, bunga US$ 2,667 juta, dan denda US$ 11,415 juta. Total utang
dari BII itu sendiri didapat dari beberapa skema, di antaranya fasilitas
pinjaman rekening koran senilai Rp 2,7 miliar, fasilitas demand loan US$
44 juta, dan L/C Line 1 US$ 8,7 juta yang jatuh tempo 7 Mei 2014, serta
fasilitas L/C Line 2 sebesar US$ 6 juta yang jatuh tempo pada 12 Juni
2014.
Pihak
BII telah beberapa kali mengirimkan surat dan melakukan pertemuan dengan pihak
PT Dhiva untuk meminta pelunasan kewajiban. Namun demikian, Dhiva Inter tidak
kunjung memenuhi kewajibannya membayar atas fasilitas kredit yang diterimanya.
BII akhirnya memutuskan memberi surat peringatan kepada termohon sebanyak dua
kali pada 24 Oktober dan 28 November 2014 dengan ancaman akan melakukan
tindakan hukum bila tidak membayar. PT
Dhiva pun tetap enggan membayar, hingga ujungnya pihak BII menempuh jalur hukum
terhadap masalah ini. Dan pada Rabu pagi, tanggal 7 Januari 2015, perkara ini
disidangkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam surat panggilan pengadilan
tanggal 31 Desember 2014, tertera bahwa perkara ini adalah permohonan
kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terkait dengan
masalah kredit macet oleh PT Dhiva. Di mana dalam hal ini PT Bank Internasional
Indonesia Tbk bertindak sebagai pemohon, sedangkan PT Dhiva dan pemiliknya,
Richard Setiawan selaku personel guarantee atau penjamin, sebagai
termohon.
Pada
dasarnya kasus kredit macet PT Dhiva ini mulai menyeruak setelah pemiliknya
berinvestasi di luar bisnis inti perusahaan. Dan pada Desember 2013, PT Dhiva
meminta agar pinjaman mereka direstrukturisasi. Akan tetapi, dari laporan audit
internal BII-Maybank sejak Agustus 2012 justru mendapati adanya indikasi
sejumlah invoice dari pihak pemasok yang ternyata fiktif. Adapun dalam
laporan audit internal BII-Maybank tersebut tertera kalimat sebagai berikut.
"BII Internal Audit Team indicated that some of the invoices from
the suppliers are fictitious. Further investigation is still being
conducted (Tim Audit Internal BII mendapati indikasi bahwa
sejumlah invoice dari pihak pemasok ternyata fiktif. Investigasi lebih lanjut
sedang dilangsungkan),"
Dalam laporan
itu pula mencantumkan jumlah kredit PT Dhiva per tanggal 5 Juni 2014,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, adalah Rp 649,29 miliar (menggunakan
kurs pada saat itu).
Terlepas dari itu semua, PT Dhiva ternyata tidak hanya memiliki utang
kepada BII saja, namun memiliki kreditur atau utang-utang kepada pihak lainnya.
PT Dhiva juga
memiliki utang kepada Bank Permata senilai Rp 304,23 miliar. Dhiva juga diduga
memiliki utang yang berpotensi gagal bayar ke Bank DBS Indonesia sebesar Rp
197,79 miliar, Bank Central Asia Tbk senilai Rp 850 juta, PT Orix Indonesia
Finance senilai Rp 807,21 juta, Bank CIMB Niaga Rp 14,23 miliar, dan kepada BRI
senilai Rp 33 miliar.
Kembali pada BII. Dengan adanya kasus kredit macet ini, pihak BII mengalami
penurunan pada tahun berjalan yang cukup signifikan dibandingkan tahun
sebelumnya. Sepanjang
Januari hingga September 2014 BII hanya membukukan laba Rp 340 miliar, jauh
lebih rendah dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp 1,09
triliun. Menurut Direktur Pengawas Perbankan 2
OJK, Riyanti A.Y. Sali, hal ini disebabkan terjadinya penurunan
laba tahun berjalan yang cukup besar. Laba tahun berjalan turun karena
pembentukan cadangan penghapusan kredit macet.
Dalam catatan
laporan keuangan BII-Maybank akhir tahun 2013, disebutkan terdapat kenaikan
kredit yang masuk dalam kategori kredit bermasalah (non-performing
loan atau NPL), senilai Rp 675 miliar. Angka ini tercantum pada
kategori utang dalam dolar AS di sektor perdagangan, restoran dan hotel. Namun
pada laporan keuangan per akhir September 2014, kredit bermasalah di pos
tersebut tersisa Rp 7 miliar. Sementara itu, nilai write off atau kredit yang dihapus bukukan dari
neraca bertambah menjadi Rp 1 triliun. Kredit bermasalah BII ini mulai melonjak
per akhir tahun 2013 menjadi Rp 2 triliun, dibandingkan pada akhir tahun
sebelumnya yang berada di level Rp 1,27 triliun. Dan setahun kemudian, pada
posisi akhir September 2014, angkanya membengkak lagi menjadi Rp 2,43 triliun.
Dilihat dari
besarannya, nilai kredit bermasalah PT Dhiva tersebut memang cukup signifikan
dibandingkan dengan total kredit bermasalah BII-Maybank per akhir tahun 2013.
Kredit macet PT Dhiva ini menyumbang kontribusi mencapai 32%. Atas kredit
bermasalah di tahun 2013 ini, pada laporan laba rugi Januari sampai dengan
Desember 2013 telah disisihkan provisi senilai Rp 787,55 miliar. Dan pada kurun
waktu Januari sampai September 2014, juga telah disisihkan provisi sebesar Rp
1,46 triliuun
B.
TEORI
Bank tentu
berkeinginan agar kredit yang diberikannya tidak menjadi kredit yang bermasalah
(macet) di kemudian hari.Oleh karena itu, sebelum memberikan kredit, bank harus
melakukan penilaian terhadap prinsip 5C. Adapun prinsip 5C yang dilakukan atau
dinilai oleh pihak bank yang bersangkutan yaitu :
1)
Character (Penilaian
Watak)
Penilaian
watak/kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui iktikad baik calon
debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjaman, sehingga tidak menyulitkan
bank dikemudian hari. Untuk mendukung analisi watak ini, yang perlu diteliti
antara lain mengenai :
a.
Reputasi bisnis atau reputasi perusahaan
b.
Riwayat perusahaan
c.
Catatan kriminal
d.
Riwayat pernikahan
e.
Gaya hidup
f.
Tingkat kooperatif selama proses analisis di
lakukan
g.
Akte pendirian perusahaan
h.
Informasi rekan bisnis
2) Capacity
(Penilaian Kemampuan)
Analisis
ini bertujuan untuk mengukur tingkat kemampuan membayar dari nasabah. Hal yang
perlu diperhatikan adalah :
1) Pendekatan historis, yaitu menilai past performance, apakah
menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu.
2) Pendekatan finansial, yaitu menilai latar belakang pendidikan
para pengurus. Hal ini sangat penting untuk perusahaan-perusahaan
yang menghendaki keahlian teknologi tinggi atau perusahaan yang memerlukan profesionalisme
tinggi seperti rumah sakit, biro konsultan, dan lain-lain.
3) Pendekatan yuridis, yaitu secara yuridis apakah calon nasabah
mempunyai kapasitas untuk mewakili badan usaha yang
diwakilinya untuk mengadakan perjanjian kredit dengan bank.
4) Pendekatan manajerial, yaitu menilai sejauh mana kemampuan
dan keterampilan nasabah melaksanakan fungsi-fungsi
manajemen dalam memimpin perusahaan.
5) Pendekatan teknis, yaitu untuk menilai sejauh mana kemampuan
calon nasabah mengelola faktor-faktor produksi
seperti tenaga kerja, sumber bahan baku, peralatan-peralatan/mesin-mesin,
administrasi, dan keuangan, industrial relation sampai pada kemampuan merebut
pasar.
3)
Capital (Penilaian Terhadap Modal)
Yaitu permodalan yang dimiliki oleh calon nasabah. Jadi
permodalan yang di maksud disini tidak semata mata 100% berasal dari pihak
Bank, melainkan kredit dari Bank hanya berupa penambahan modal bagi calon
nasabah. Capital ini dapat dilihat dari rekening tabungan calon nasabah maupun
investasi yang telah di lakukan.
4)
Collateral (Penilaian
terhadap Agunan)
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam analisis agunan kredit adalah:
a. Segi
ekonomis, yaitu nilai ekonomis dari barang-barang yang
akan diagunkan.
b. Segi
yuridis, yaitu apakah jaminan tersebut memenuhi syarat-syarat
yuridis untuk dipakai sebagai jaminan. Oleh
karena itu, nilai jaminan tersebut sebaiknya harus mampu menutup resiko-resiko yang mungkin
timbul di kemudian hari
atas kredit yang diberikan.
5)
Condition Of Economy
(Penilaian terhadap prospek usaha nasabah).
Pada Bank Internasional Indonesia KCP Jakarta yaitu Bisa dilihat
juga dari prospek usaha dari calon nasabah, apakah usaha yang digeluti oleh calon nasabah memiliki prospek/masa depan yang baik. Baik/tidaknya prospek usaha di
kemudian hari tergantung dari
beberapa faktor seperti faktor politik, ekonomi dan social budaya.
C.
Analisis Kasus
Berdasarkan kasus tersebut hal ini masuk kedalam analisis
Capacity dan Condition Of Economic Nasabah. Untuk menganalisis hal
tersebut, maka dapat diambil solusi atau novasi sebagai berikut :
1. Permasalahan, Capacity
Capacity yaitu kemampuan nasabah dalam membayar
hutang. Permasalahan mengenai capacity dapat dianalisis melalui beberapa
pendekatan yaitu pendekatan historis, financial, yuridis, manajerial dan
pendekatan teknis. Karena pihak mitra (pemasok) dari Cina tidak dapat mengirim
pesanan pipa pada waktu yang dijanjikan, sehingga PT Dhiva mengalami penurunan
laba dalam penjualannya. Oleh karena itu, PT Dhiva terancam pailit dan tidak
dapat mengembalikan pinjaman pokok beserta bunganya kepada pihak BII.
2. Condition Of Economic
Permasalahan mengenai Condition Of Economi Nasabah
erat kaitannya dengan faktor politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dalam hal ini
kasus kredit macet karena kerugian yang dialami oleh PT Dhiva yang melalukan
import pipa dari mitra usaha di Cina, kemudian dialokasikan di Indonesia bukanlah
kesalahan dari pihak PT Dhiva, melainkan faktor ekonomi yang selalu berada di
posisi naik atau turun. Begitu juga yang terjadi pada permintaan maupun
penawaran dari harga jual dan juga barang yang diminta oleh konsumen. Sehingga
apabila harga barang tersebut naik maka permintaan akan barang tersebut
menurun, begitupun sebaliknya.
D. KESIMPULAN
1. Penerapan prinsip 5C adalah hal yang perlu
di perhatikan pada setiap bank. Dari Tiap point prinsip tersebut memiliki
standar ketentuan yang sesuai untuk menganalisis kredit atau pembiayaan. Karena
apabila terdapat kelalaian dalam satu point saja, maka akan berpengaruh
terhadap kelancaran pengembalian kredit/pembiayaan dari debitur.
2. Kebijakan prosedur
risiko kredit yang ditetapkan oleh bank merupakan suatu bentuk pencegahan
terhadap kemungkinan adanya kerugian atas gagal bayar dari debitur, sehingga
kebijakan prosedur tersebut harus diimplementasikan semaksimal mungkin.
3. Serta penerapan BI Checking yang merupakan
istilah lain dari informasi debitur individual (IDI) Histori yang dihasilkan
oleh sistem Informasi debitur (SID) sehingga di lakukan BI Checking online.
Disebut BI Checking karena pihak yang berkepentingan dengan semua data tersebut
adalah debitur. Ada nya hal ini telah diatur dalam “peraturan BI No.
9/14/PBI/2007 pasal 1 ayat 11 tentang Sistem Informasi Debitur”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar